Selasa, 08 September 2015

KISAH BARUKU

                Jauh dari orangtua bagi sebagian anak memang berat. Apalagi untuk mereka yang selalu bergantung kepada orangtuanya saat dirumah. Namun ketika menyangkut urusan pendidikan, mau tidak mau mereka harus siap untuk hidup mandiri jauh dari orang tua untuk mencari ilmu. Nah, saya termasuk salah satu anak yang bisa dibilang anak Ibu (Anak Ibu dan Bapak saya lebih tepatnya hehe). Anak Ibu yang saya maksud adalah anak yang selalu mengandalkan orangtua ketika tinggal di rumah, seperti contohnya makan. Ketika makan, makanan itu biasanya sudah disiapin di piring (manja banget yaaaaa). Untuk hal hal lain seperti setrika atau menyapu juga belum saya kerjakan sendiri. Namun, untuk urusan mencuci baju saya yang paling rajin. Semua baju kotor Bapak dan Ibu saya, saya cuci semua lho !!
Jangan kaget kenapa saya begitu rajin dalam mencuci pakaian, semua itu dikarenakan barang elektronik yang menurut saya sangat super. Ya. Mesin cuci. Barang yang saya sangat syukuri keberadaannya di rumah tercinta.
            Rumah dimana tempat terciptanya momen momen berharga selama delapan belas tahun ini tiba tiba harus saya tinggalkan. Bukan sekedar tempat tidur ataupun makan namun rumah bagiku adalah tempat dimana saya tidak perlu menjadi orang lain. Tempat dimana orang orang didalamnya menerima saya dengan sepenuh hati mereka. Tempat yang penuh kasih sayang tulus yang tidak meminta balasan. Sebuah bangunan yang tak pernah sepi dari canda dan tawa. Meski air mata juga pernah menetes di tempat itu, akan tetapi kenyamanan tak akan sirna dari rumah saya tinggal.
Hari itu tiba, hari dimana saya harus pergi sementara dari rumah. Ya. Sementara. Karena bagi saya rumah adalah tempat kembali. Kembali mersakan luapan cinta dan kasih yang tidak didapat dari manapun. Surakarta atau lebih sering dikenal sebagai Solo, wilayah yang begitu asing dimata saya. Meski sama sama ada di Jawa, tak bisa dipungkiri Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki logat bahasa yang agak berbeda. Tapi dikarenakan banyaknya pendatang di Solo, saya lebih sering menggunakan bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Meski Solo tergolong maju, akan tetapi orang-orang disini tidak individualis. Mereka bahkan termasuk golongan ramah dan juga sopan. Kos-Kos an disini juga tak semahal di kota lain. Makananannya juga terjangkau untuk kalangan anak rantau.
Anak kos. Julukan itu kini ada pada saya. Tak tau harus bangga mendapat julukan tersebut atau malah bersedih karena harus lebih hemat karena jauh dari orang tua. Banyak tanggung jawab yang harus dipikul sebagai anak kos. Bagi saya hal yang paling berat selama menjadi anak kos adalah soal makanan. Saya bukan golongan anak yang pilah pilih makanan. Saya lebih flexibel terhadap segala makanan. Namun apa daya ternyata disini saya belum menemukan tempat makan yang sesuai selera lidah saya.  Jujur saya masih begitu terpengaruh masakan Ibu di rumah. Meski lauk seadanya seperti tempe, tahu, telor, nasi goreng, sop atau apapun itu, masakan Ibu saya memiliki rasa yang kuat. Jadi apa boleh buat warung di sekitar kosan belum memenuhi kriteria saya. Hehehehe. Selama kurang lebih 2 bulan ini saya masih terus mencari masakan yang mirip dengan masakan Ibu saya. Hal itulah yang menjadi salah satu faktor homesick bagi saya.
Untuk urusan tempat tinggal, kosan saya lumayan nyaman. Saya tekankan lumayan karena senyaman nyamannya kosan tetap nyaman rumah sendiri. Kamar kos saya ukuran kurang lebih 3x3 dengan kamar mandi dalam. Saya menempati kamar kos sendirian jadi privasi saya begitu terjaga. Tidak ada masalah untuk tempat kosan. Masalahnya Cuma dua. Yang pertama kosan saya agak jauh dari kampus. Apalagi saat ini saya masih harus jalan kaki ke kampus. Dibutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk sampai kampus. Itu belum termasuk naik ke lantai tiga atau empat. Lumayanlah olahraga pagi pagi. Tapi jika saya sedang beruntung, saya biasanya nebeng temen untuk sampai kampus hehehe. Kalau untuk jalan dari kosan ke kampus saya masih sanggup. Tapi masalahnya jarak menuju gedung tempat kuliah itu lhoooooo hmmmm. Maka dari itu saya sudah pesan kepada orang tua saya kalau saya membutuhkan motor. Benar benar butuh. Jadi bagi teman teman yang kadang menawari untuk membonceng saya. You are my hero J. Masalah yang kedua adalah kamar mandi kosan saya bertoilet duduk. Bayangkan, saya yang terbiasa jongkok harus dihadapkan dengan toilet duduk. Saya benar benar terpuruk selama lima hari di awal awal nge kos. Untungnya ada solusi yang terbaik untuk masalah saya tersebut. Dan itu tidak akan saya jelaskan di tulisan ini. Sangat pribadi sekali. Hehehehe.
Kehidupan bukan soal makan minum atau mandi. Tapi juga ganti pakaian. Saya termasuk yang hobi gonta ganti baju karena emang tidak nyaman dengan baju yang sudah terkena keringat. Alhasil banyak cucian menumpuk di kosan. Untuk menyiasati hal tersebut saya sangat berusaha untuk tidak berkeringat jadi tidak perlu ganti baju. Hehehehe. Satu hal yang membuat saya sedih, yaitu tidak adanya mesin cuci di kosan. Jadi dibutuhkan tenaga ekstra untuk mencuci baju. Bukan hanya soal mencuci pakaian, tapi pakaian juga harus keliatan licin kan ?? Maka dari itu ada kegiatan yang sangat tidak saya sukai. Menyetrika. Entah kenapa menyetrika menjadi kegiatan yang begitu membosankan. Berbeda dengan mencuci yang berhubungan dengan air, menyetrika identik dengan panas. Keringat pasti mengucur derras saat menyetrika, dan itu akan menambah pakaian kotor saya karena naju yang dipakai untuk menyetrika pastilah akan penuh keringat. Jadi, untuk kaos kaos antau pakaian rumah saya hanya melipatnya dan dimasukkan ke lemari. Khusus untuk kemeja atau pakaian untuk kuliah barulah saya menyetrikanya.
Tidak dipungkiri menjadi anak kos sangat mengubah sifat saya sebelumnya. Sifat manja yang memang ada pada diri saya perlahan mulai terkikis. Saat di rumah tugas yang identik dengan laki-laki selalu dikerjakan oleh Bapak. Dari mulai mengusir kecoa, cicak kemudian memaku dinding semua dilakukan Bapak saya. Akan tetapi di kos saya dituntut untuk mengerjakan itu sendiri. Contohnya memaku dinding kamar untuk diberi kaca. Saya hampir menyerah karena setiap saya palu, paku tersebut menjadi bengkok. Ternyata paku yang saya gunakan bukanlah paku cor, untungnya saya diberitahu Bapak kakak kos saya bahwa tembok kamar kos hanya bisa menggunakan paku cor. Dengan menggunakan seluruh energi saya (ceilah) akhirnya paku itu bisa tertancap di dinding kos saya. Meski keringat bercucuran tapi ada secercah rasa bangga di hati saya.
Keluarga baru. Sebagai seorang anak kos yang berstatus mahasiswa baru, ada rasa segan terhadap kakak kos. Awalnya malu malu, senyum sapa hanya itu yang terucap. Namun perlahan pasti keakraban telah tumbuh di hati masing masing. Saling menyadari bahwa kita membutuhkan satu sama lain itulah yang membuat saya dan yang lain semakin kompak. Disinilah saya sekarang, keluarga baru tempat saya melepas lelah selama kuliah. Tempat dimana saya kentut dengan nyaman dan mencurahkan perasaan kepada kakak yang lebih dahulu mengetahui naik turunnya kehidupan. Soal cinta, persahabatan atau apapun itu saya baru menyadarinya sekarang. Ada yang bilang bahwa tingkat tertinggi dari pertemenan adalah ketika kita saling mengejek tapi tidak pernah ada hati yang tersakiti. Ya itu benar. Mereka orang orang baru yang asing namun tinggal seatap dengan saya, merekalah keluarga baru saya. Mereka yang sering mengejek saya dan merekalah yang sering membantu saya. Sejauh yang saya rasakan kali ini, ketika sesorang tidak bisa melepas topengnya dihadapanmu berarti ia belum benar benar mempercayaimu.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Bela Sofiana Lenterawati Blogger Template by Ipietoon Blogger Template