Jauh dari orangtua bagi sebagian anak
memang berat. Apalagi untuk mereka yang selalu bergantung kepada orangtuanya
saat dirumah. Namun ketika menyangkut urusan pendidikan, mau tidak mau mereka
harus siap untuk hidup mandiri jauh dari orang tua untuk mencari ilmu. Nah, saya termasuk salah satu anak yang bisa
dibilang anak Ibu (Anak Ibu dan Bapak saya lebih tepatnya hehe). Anak Ibu yang
saya maksud adalah anak yang selalu mengandalkan orangtua ketika tinggal di
rumah, seperti contohnya makan. Ketika makan, makanan itu biasanya sudah
disiapin di piring (manja banget yaaaaa). Untuk hal hal lain seperti setrika
atau menyapu juga belum saya kerjakan sendiri. Namun, untuk urusan mencuci baju
saya yang paling rajin. Semua baju kotor Bapak dan Ibu saya, saya cuci semua
lho !!
Jangan kaget kenapa saya begitu rajin dalam mencuci pakaian, semua itu dikarenakan barang elektronik yang menurut saya sangat super. Ya. Mesin cuci. Barang yang saya sangat syukuri keberadaannya di rumah tercinta.
Jangan kaget kenapa saya begitu rajin dalam mencuci pakaian, semua itu dikarenakan barang elektronik yang menurut saya sangat super. Ya. Mesin cuci. Barang yang saya sangat syukuri keberadaannya di rumah tercinta.
Rumah dimana tempat terciptanya
momen momen berharga selama delapan belas tahun ini tiba tiba harus saya
tinggalkan. Bukan sekedar tempat tidur ataupun makan namun rumah bagiku adalah
tempat dimana saya tidak perlu menjadi orang lain. Tempat dimana orang orang
didalamnya menerima saya dengan sepenuh hati mereka. Tempat yang penuh kasih
sayang tulus yang tidak meminta balasan. Sebuah bangunan yang tak pernah sepi
dari canda dan tawa. Meski air mata juga pernah menetes di tempat itu, akan
tetapi kenyamanan tak akan sirna dari rumah saya tinggal.
Hari itu tiba, hari dimana saya harus pergi sementara dari
rumah. Ya. Sementara. Karena bagi saya rumah adalah tempat kembali. Kembali
mersakan luapan cinta dan kasih yang tidak didapat dari manapun. Surakarta atau
lebih sering dikenal sebagai Solo, wilayah yang begitu asing dimata saya. Meski
sama sama ada di Jawa, tak bisa dipungkiri Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki
logat bahasa yang agak berbeda. Tapi dikarenakan banyaknya pendatang di Solo,
saya lebih sering menggunakan bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Meski Solo
tergolong maju, akan tetapi orang-orang disini tidak individualis. Mereka
bahkan termasuk golongan ramah dan juga sopan. Kos-Kos an disini juga tak
semahal di kota lain. Makananannya juga terjangkau untuk kalangan anak rantau.
Anak kos. Julukan itu kini ada pada saya. Tak tau harus
bangga mendapat julukan tersebut atau malah bersedih karena harus lebih hemat
karena jauh dari orang tua. Banyak tanggung jawab yang harus dipikul sebagai
anak kos. Bagi saya hal yang paling berat selama menjadi anak kos adalah soal
makanan. Saya bukan golongan anak yang pilah pilih makanan. Saya lebih flexibel
terhadap segala makanan. Namun apa daya ternyata disini saya belum menemukan
tempat makan yang sesuai selera lidah saya.
Jujur saya masih begitu terpengaruh masakan Ibu di rumah. Meski lauk
seadanya seperti tempe, tahu, telor, nasi goreng, sop atau apapun itu, masakan
Ibu saya memiliki rasa yang kuat. Jadi apa boleh buat warung di sekitar kosan
belum memenuhi kriteria saya. Hehehehe. Selama kurang lebih 2 bulan ini saya
masih terus mencari masakan yang mirip dengan masakan Ibu saya. Hal itulah yang
menjadi salah satu faktor homesick bagi saya.
Untuk urusan tempat tinggal, kosan saya lumayan nyaman. Saya
tekankan lumayan karena senyaman nyamannya kosan tetap nyaman rumah sendiri.
Kamar kos saya ukuran kurang lebih 3x3 dengan kamar mandi dalam. Saya menempati
kamar kos sendirian jadi privasi saya begitu terjaga. Tidak ada masalah untuk
tempat kosan. Masalahnya Cuma dua. Yang pertama kosan saya agak jauh dari
kampus. Apalagi saat ini saya masih harus jalan kaki ke kampus. Dibutuhkan
waktu sekitar 10 menit untuk sampai kampus. Itu belum termasuk naik ke lantai
tiga atau empat. Lumayanlah olahraga pagi pagi. Tapi jika saya sedang
beruntung, saya biasanya nebeng temen untuk sampai kampus hehehe. Kalau untuk
jalan dari kosan ke kampus saya masih sanggup. Tapi masalahnya jarak menuju
gedung tempat kuliah itu lhoooooo hmmmm. Maka dari itu saya sudah pesan kepada
orang tua saya kalau saya membutuhkan motor. Benar benar butuh. Jadi bagi teman
teman yang kadang menawari untuk membonceng saya. You are my hero J. Masalah yang kedua adalah kamar
mandi kosan saya bertoilet duduk. Bayangkan, saya yang terbiasa jongkok harus
dihadapkan dengan toilet duduk. Saya benar benar terpuruk selama lima hari di
awal awal nge kos. Untungnya ada solusi yang terbaik untuk masalah saya
tersebut. Dan itu tidak akan saya jelaskan di tulisan ini. Sangat pribadi
sekali. Hehehehe.
Kehidupan bukan soal makan minum atau mandi. Tapi juga ganti
pakaian. Saya termasuk yang hobi gonta ganti baju karena emang tidak nyaman
dengan baju yang sudah terkena keringat. Alhasil banyak cucian menumpuk di
kosan. Untuk menyiasati hal tersebut saya sangat berusaha untuk tidak
berkeringat jadi tidak perlu ganti baju. Hehehehe. Satu hal yang membuat saya
sedih, yaitu tidak adanya mesin cuci di kosan. Jadi dibutuhkan tenaga ekstra
untuk mencuci baju. Bukan hanya soal mencuci pakaian, tapi pakaian juga harus
keliatan licin kan ?? Maka dari itu ada kegiatan yang sangat tidak saya sukai.
Menyetrika. Entah kenapa menyetrika menjadi kegiatan yang begitu membosankan.
Berbeda dengan mencuci yang berhubungan dengan air, menyetrika identik dengan
panas. Keringat pasti mengucur derras saat menyetrika, dan itu akan menambah
pakaian kotor saya karena naju yang dipakai untuk menyetrika pastilah akan
penuh keringat. Jadi, untuk kaos kaos antau pakaian rumah saya hanya melipatnya
dan dimasukkan ke lemari. Khusus untuk kemeja atau pakaian untuk kuliah barulah
saya menyetrikanya.
Tidak dipungkiri menjadi anak kos sangat mengubah sifat saya
sebelumnya. Sifat manja yang memang ada pada diri saya perlahan mulai terkikis.
Saat di rumah tugas yang identik dengan laki-laki selalu dikerjakan oleh Bapak.
Dari mulai mengusir kecoa, cicak kemudian memaku dinding semua dilakukan Bapak
saya. Akan tetapi di kos saya dituntut untuk mengerjakan itu sendiri. Contohnya
memaku dinding kamar untuk diberi kaca. Saya hampir menyerah karena setiap saya
palu, paku tersebut menjadi bengkok. Ternyata paku yang saya gunakan
bukanlah paku cor, untungnya saya diberitahu Bapak kakak kos saya bahwa tembok
kamar kos hanya bisa menggunakan paku cor. Dengan menggunakan seluruh energi
saya (ceilah) akhirnya paku itu bisa tertancap di dinding kos saya. Meski
keringat bercucuran tapi ada secercah rasa bangga di hati saya.
Keluarga baru. Sebagai seorang anak kos yang berstatus
mahasiswa baru, ada rasa segan terhadap kakak kos. Awalnya malu malu, senyum
sapa hanya itu yang terucap. Namun perlahan pasti keakraban telah tumbuh di
hati masing masing. Saling menyadari bahwa kita membutuhkan satu sama lain itulah
yang membuat saya dan yang lain semakin kompak. Disinilah saya sekarang,
keluarga baru tempat saya melepas lelah selama kuliah. Tempat dimana saya
kentut dengan nyaman dan mencurahkan perasaan kepada kakak yang lebih dahulu
mengetahui naik turunnya kehidupan. Soal cinta, persahabatan atau apapun itu
saya baru menyadarinya sekarang. Ada yang bilang bahwa tingkat tertinggi dari
pertemenan adalah ketika kita saling mengejek tapi tidak pernah ada hati yang
tersakiti. Ya itu benar. Mereka orang orang baru yang asing namun tinggal
seatap dengan saya, merekalah keluarga baru saya. Mereka yang sering mengejek
saya dan merekalah yang sering membantu saya. Sejauh yang saya rasakan kali
ini, ketika sesorang tidak bisa melepas topengnya dihadapanmu berarti ia belum benar
benar mempercayaimu.
0 komentar:
Posting Komentar